HEADLINE NEWS

Minggu, 12 Juni 2011

Bunker Koruptor Bernama Singapura

Jakarta: Siapa yang tak suka berkunjung ke Singapura. Negara kecil ini menyimpan beragam kelebihan dalam memanjakan pengunjungnya. Dan ternyata, bukan hanya wisatawan yang dimanjakan negeri Singa ini, tetapi juga kaum koruptor.

Tak salah bila ada yang menyebut negara tetangga Indonesia ini sebagai bunker tempat persembunyian para pengeruk kekayaan yang bukan haknya. Entah sudah berapa banyak koruptor negeri ini yang 'bersembunyi' di negara itu.

Sebenarnya Indonesia dan Singapura sudah memiliki perjanjian ekstradisi, namun sampai detik ini belum juga berlaku. Pasalnya DPR belum meratifikasi perjanjian itu sejak 2007. Alasannya, ratifikasi perjanjian itu akan merugikan Indonesia. Mengapa?

Laporan dari Morgan Stanley mengungkapkan dari 55 ribu orang kaya Indonesia (yang kekayaannya melebihi US$1 juta), 30% di antaranya adalah kelas menengah dari Indonesia, alias sebanyak 18 ribu orang, memilih Singapura untuk menaruh uangnya.

Kalau semiskin-miskinnya 18 ribu orang itu masing-masing punya US$ 1 juta, maka aset total mereka di sini adalah 18 ribu x 1 juta = US$18 miliar, alias Rp160 triliun! Namun rasanya tak mungkin aset mereka cuma US$1 juta saja.

Para koruptor RI paling doyan lari ke negeri singa itu. Bisa kebayang bukan, kelipatan kekayaan orang kita di sini? Diperkirakan oleh Merrill Lynch, lebih dari Rp800 triliun duit orang Indonesia ditaruh di Singapura.

Singapura, negara berpenduduk sekitar 4,5 juta jiwa dengan produk domestik bruto (GDP) sekitar US$132 miliar pada 2009, menjadi pusat keuangan dan bisnis regional yang maju pesat, hadir sebagai saingan baru bagi pusat keuangan mapan seperti Hongkong dan Swiss.

Banyak kejanggalan dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura di Bali. Namun, perjanjian itu tak dapat dipisahkan dari perjanjian kerja sama pertahanan (DCA). Ketika hendak diratifikasi, anggota DPR periode 2004-2009 melihat ada beberapa kejanggalan.

Pertama, hal ini terutama berkaitan dengan penjelasan Indonesia akan memberikan tanah seluas 32 ribu hektar untuk latihan bersama antara TNI dan Singapura. Wilayah yang diminta adalah di Baturaja, Sumatera Selatan.

Kedua, Tidak diratifikasinya perjanjian itu, seperti dikemukakan mantan Wapres Jusuf Kalla, karena Singapura kemudian meminta akses yang lebih luas bagi Angkatan Udaranya di wilayah Indonesia. Sesuatu yang nampaknya disengaja Singapura, sehingga Perjanjian Ekstradisi itu tidak bisa dilaksanakan.

Secara politis, menukar orang yang bermasalah secara hukum dengan wilayah untuk berlatih sangat tak menguntungkan. Syarat ini merugikan kepentingan Indonesia. Situasi ini membuat negeri singa itu menjadi celah bagi koruptor dari Indonesia, termasuk mereka yang diduga terlibat korupsi, untuk berlari ke Singapura dan bersembunyi di sana.

Apalagi, untuk pergi ke Singapura, seseorang hanya membutuhkan paspor dan tak perlu mempergunakan visa. Karena tidak ada perjanjian ekstradisi yang ditandatangani Indonesia, Polri tak boleh beroperasi di Singapura tanpa izin pemerintah setempat

Dalam konteks Nunun Nurbaeti, misalnya, kalau saja Singapura bersedia, dimanapun Nunun bersembunyi, seketat apapun upaya melindunginya, usaha itu tak akan efektif. Nunun selama ini dianggap salah satu ‘kunci’ dari kasus penyuapan pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.

Indonesia pun tidak bisa memaksa Singapura, supaya ‘menangkap’ Nunun. Sebab perjanjian ekstradisi kedua negara yang ditanda-tangani 2007, belum diratifikasi oleh parlemen masing-masing. Kalau Nunun bisa dideteksi tinggal di Singapura, maka orang-orang yang bermasalah seperti bisa berpikir ulang menjadikan Singapura sebagai tempat persembunyian.

Namun, Singapura sudah jadi bunker koruptor dan keuntungan dari uang haram itu amat besar sebab menjadi tiang penyangga ekonomi negeri Lee Kuan Yew itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar